Sondag 07 April 2013

Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dalam Situas Krisis Ekonomi Global.

-->                                                                                                                                 Fahrudin Ramly
                                               Tulisan ini pernah dimuat pada jurnal Inspirasi edisi September 2012

Indonesia sebagai negara kecil dan terbuka tidak dapat  melepaskan diri dari pengaruh satuasi ekonomi global yang terjadi. Krisis ekonomi global yang terjadi belakangan ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat telah memberikan pengalaman bagi Indonesia dan sekarang yang terjadi di Eropa  semenjak November 2009. Banyak kalangan menilai kalau krisis itu terjadi karena tingkat bunga dari beberapa surat hutang pemerintah menanjak drastis di beberapa negara di Eropa yang kemudian melahirkan efek domino. Dalam menghadapi krisis tersebuti, pemerintah negara-negara di Eropa kemudian memberikan stimulus fiskal untuk merangsang ekonomi dan mengatasi bank-bank yang ambruk, namun sampai sekarang masih belum dapat diatasi.
Banyak kalangan menilai kalau krisis ekonomi yang terjadi di Eropa sudah menjalar ke Indonesia, jadi bukan lagi merupakan ancaman. Seperti yang disinyalir oleh Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeboerle. Indikasi ini terlihat pada kecendrungan melemahnya nilai tukar rupiah, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan menipisnya likuiditas valuta asing. Dan tentu saja ekspor Indonesia.
Data yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan kalau sejak bulan April ekspor Indonesia sudah mulai melemah dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal itu ditunjukkan oleh nilai ekspor bulan April yang hanya mencapai US$ 16,173 miliar dibanding bulan Maret yang mencapai US$ 17,251 miliar.  Walaupun pada bulan Mei mengalami peningkatan lagi menjadi US$ 16,829 miliar. Akan tetapi pada bulan Juni terjadi lagi penurunan. Penurunan tersebut karena terjadinya penurunan volume ekspor dan harga-harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti batubara, karet, minyak sawit, dan tembaga telah menurun.
Krisis ekonomi dunia yang terjadi secara beruntun telah banyak memberikan pelajaran bagi pengelolaan ekonomi nasional dan regional. Indonesia sejauh ini telah membuktikan sebagai salah satu negara yang mempunyai daya tahan tinggi dalam menghadapi krisis ekonomi global. Saat negara lain mengalami resesi pada 2009, Indonesia bersama dengan China dan India justru masih mengalami pertumbuhan sebesar 4,6% dan bahkan terakselerasi pada 2010 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 6,1% per tahun. Bahkan Lukita Dinasryah Tuwo, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, meyakini perekonomian Indonesia masih akan tumbuh sesuai dengan prognosis APBNP 2012, kira-kira mencapai 6,5 persen hingga 6,7 persen, jika berjalan sesuai skenario, atau 6 persen berdasarkan proyeksi Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB)  sebesar 6,8 persen. Keyakinan pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut disinyalir karena pemerintah Indonesia telah memiliki pengalaman dalam mengelola dan mengantisipasi krisis. Memang selama krisis terjadi, seolah-olah terdapat dua kelompok pemikiran, yaitu yang merasa optimis dan pesimis terhadap kemungkinan Indonesia bisa terhindari dan keluar dari krisis.
Jika menengok kebelakang penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 terdapat lima penyebab utama yaitu akumulasi dari kurang tepatnya kebijakan ekonomi,  kelembagaan perbankan yang kurang kuat, krisis kepercayaan, diagnosis dan resep penanggulangan krisis yang kurang tepat, dan internasionalisasi pasar modal yang spekulatif dan tidak stabil. Faktor-faktor inilah yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengantisipasi pengaruh krisis terhadap perekonomian Indonesia.
Dampak Krisis Ekonomi  pada Indonesia
Seperti yang pernah dikemukakan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang P. S. Brodjonegoro bahwa setidaknya ada dua jalur transmisi yang dapat dilewati pengaruh krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia yaitu jalur perdagangan dan jalur pasar modal. Pertama Perdagangan, dampak yang dapat dirasakan oleh  Indonesia adalah terjadinya penurunan ekspor. Karena adanya penurunan permintaan barang dari negara-negara yang mengalami krisis seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa saat ini. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS, memang kontribusi kedua kawasan tersebut khususnya Yunani, Italia, Spanyol, dan Irlandia relatif kecil terhadap nilai ekspor Indonesia hanya berkisar 19% lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia yang berkisar 73%. Namun demikian, tetap perlu diwaspadai potensi dampak lanjutan bila gejolak tersebut meluas ke negara-negara Eropa lain yang merupakan mitra dagang penting Indonesia. Sementara gejolak ekonomi AS perlu mendapat perhatian mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang penting Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS di tahun 2010 cukup besar, yaitu kurang lebih sebesar 10,5 persen dari total ekspor Indonesia. Di samping itu, peran perekonomian AS terhadap perekonomian global yang cukup besar (sekitar 20 persen) akan memiliki pengaruh yang cukup berarti pada negara lain, termasuk mitra dagang Indonesia lainnya. Yang perlu mendapat perhatian sekarang adalah adanya indikasi menurunannya nilai ekspor Indonesia.
Pada Juni 2012 terjadi penurunan nilai ekspor bila dibandingkan Mei 2012 sebesar 8,70 persen. Penurunan nilai ekspor tersebut terjadi karena menurunnya nilai ekspor nonmigas sebesar 4,04 persen demikian juga nilai ekspor migas turun sebesar 25,12 persen. Nilai ekspor secara total untuk periode Januari hingga Juni 2012 sebesar US$ 96.884,7 juta yang terdiri dari ekspor migas US$ 20.059,0 juta dan ekspor nonmigas US$ 76.825,7 juta. Jika dibandingkan dengan periode Januari–Juni tahun 2011 maka terjadi penurunan sebesar 1,76 persen untuk ekspor total. Ekspor migas secara kumulatif (Januari–Juni 2012) naik 2,44 persen, sementara ekspor nonmigas turun 2,79 persen. Khusus untuk ekspor non migas negara-negara uni Eropa memiliki kontribusi sebesar 11,73 persen, Amerika Serikat sebesar 9,71 persen. China merupakan negara yang memiliki kontribusi tersebur yaitu 13,60 persen, kemudian Jepang sebesar 11,35 persen dan India sebesar 7,86 persen. Gambaran data ini dapat memberikan rasa optimisme kalau krisis ekonomi yang terjadi di Eropa tidak terlalu berpengaruh signfikan terhadap perekonmian Indonesia, mengingat negara-negara utama tujuan ekspor Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Namun harus mendapat catatan karena nilai ekspor non migas untuk negara-negara tersebut juga mengalami penurunan. 
Pasar Modal dan Uang
Salah satu dampak gejolak yang mungkin lebih cepat terasa adalah gejolak di pasar modal dan uang. Adanya kebutuhan dana untuk restrukturisasi sektor keuangan dan pemulihan ekonomi di AS dan Eropa dapat mendorong investor dari kawasan Eropa dan AS menarik investasinya dari Indonesia dan mengalihkan investasinya pada instrumen lain, misalnya komoditas emas. Apabila terjadi capital outflow yang disebabkan oleh investor dari negara Eropa yang menarik dananya, maka akan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan meningkatnya jumlah utang dan beban utang pemerintah terutama yang berdenominasi asing. Selain itu, semakin ketatnya likuiditas global dan meningkatnya suku bunga akan membuat biaya penerbitan global bond pemerintah menjadi semakin mahal. Walaupun memang Indonesia sedikit beruntung menurut pengamatan Firmanzah Dekan Fekon UI, karena Indonesia dinilai peran capital market  dalam struktur ekonomi secara keseluruhan tidak sebesar di Eropa dan AS. Dengan demikian, transmisi krisis melalui pasar uang atau pasar modal sebenarnya tidak sampai mengganggu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terhambat jika terjadi penurunan aliran modal masuk. Kawasan Eropa dan Amerika Serikat dalam portofolio investasi dan Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia menyumbang 60 persen. Terjadinya krisis dapat menurunkan FDI yang berasal dari kedua wilayah tersebut.
Prospek Pertumbuhan Ekonomi.
Dengan berbagai tantangan, ancaman dan peluang dan potensi yang dimiliki pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga internasional lainnya. Atau paling tidak mendekati. Kinerja perekonomian Indonesia yang digambarkan oleh perkembangan PDB atas dasar harga konstan 2000, pada triwulan II-2012 meningkat sebesar 2,8 persen bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (q-to-q). Peningkatan ini terjadi pada semua sektor ekonomi, kecuali Sektor Pertambangan dan Penggalian yang mengalami penurunan sebesar 0,6 persen.
Penulis merasa optimis jika ekonomi Indonesia bisa terhindar dari gejolak krisis ekonomi global. Optimisme ini dilandasi pada beberapa hal pokok, yaitu: pendapatan per kapita Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 pendapatan per kapita hanya sebesar Rp. 6 751 601,46, jumlah ini meningkat pada tahun 2011 menjadi Rp. 30 812 926,10. Peningkatan ini akan meningkatkan daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat. Memang pertumbuhan ekonomi selama ini masih didorong oleh konsumsi masyarakat. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga secara riil (atas dasar harga konstan 2000) meningkat sebesar 1,4 persen pada triwulan II-2012 (Rp355,9 triliun) dibandingkan dengan triwulan I-2012 (Rp351,1 triliun). Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB sebesar 53,5 persen. Jadi ekonomi Indonesia tetap mengandalkan pada pasar domestik.
Yang kedua adalah besarnya investasi yang terealisasi baik PMA ataupun PMDN. Menurut data Badan Penanaman Modal, realisasi investasi pada triwulan 1 periode Januari hingga Maret 2012 tercatat sebesar Rp 71,2 triliun. Ini terdiri dari realisasi investasi penanaman modal dalam negeri sebesar Rp 19,7 triliun dan realisasi investasi penanaman modal asing sebesar Rp 51,5 triliun. Jumlah ini meningkat 32,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh kembalinya Indonesia ke dalam kelompok negara-negara yang mendapatkan rating investment grade pada 2012 yang terakhir sekali status tersebut dicapai pada tahun 1998. Penilaian tersebut diberikan oleh Rating Agency Internasional, Fitch Rating dan Moody’s Investor Service. Fitch yang menaikkan “sovereign credit rating” dari BB+ menjadi BBB- menekankan bahwa rating ini mencerminkan disiplin fiskal yang berkesinambungan, pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkualitas serta rasio utang publik yang rendah dan cenderung menurun.
Peringkat layak investasi tersebut memperlihatkan Indonesia memiliki likuiditas eksternal kuat serta kerangka kebijakan makro yang berhati-hati. Investment grade ini juga memberikan persepsi bahwa Indonesia dalam melakukan reformasi menunjukkan karya dan   keyakinan Indonesia menjadi negara maju semakin tinggi. Moody’s Investors Service mempertahankan peringkat (rating) Indonesia di level Baa3 dengan outlook stabil. Pada Januari lalu, Moody’s juga memberikan peringkat dengan level sama. Adapun pertimbangan Moody’s di antaranya, pertama, pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi dan kuat. Kedua, kebijakan fiskal yang cukup moderat dengan tingkat utang dan defisit yang masih terkendali, Ketiga, sektor keuangan yang masih cukup kuat. Keempat, kerentanan dalam menghadapi krisis masih cukup moderat.
Yang ketiga, kemampuan pemerintah menstabilkan tingkat harga. Sampai dengan bulan Juli inflasi secara nasional sebesar 2,5 persen. Diandingkan dengan tahun 2010 dan 2011, tingkat inflasi yang terjadi sekarang masih lebih rendah. Faktor ini kemudian mempengaruhi stabilitas tingkat suku bunga. BI rate pada akhir 2011 adalah 6,75 persen dan nilai tukar rupiah terhadap US$ berkisar pada Rp. 9.578,-. Yang perlu diwaspadai adalah kecendrungan nilai tukar rupiah yang cendrung melemah. Kalau ini terus berlanjut akan diikuti dengan kenaikan tingkat suku dan hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor riil.
Selain faktor internal tersebut, maka faktor eksternal seperti kinerja perekonomian beberapa negara mitra dagang Indonesia cukup baik seperti China, India, Jepang juga memberikan pengaruh terhadap kemungkinan Indonesia bisa terhindar dari dampak krisis ekonomi global. Dengan demikian, ekonomi Indonesia masih akan tumbuh meski laju pertumbuhannya akan sedikit menurun. Penulis percaya, jika diambil kebijakan yang tepat, maka dampak krisis ekonomi global terhadap ekonomi Indonesia akan minimal. Apalagi Indonesia sudah memiliki segudang pengalaman dalam menghadapi krisis ekonomi global. Semoga*****