Tulisan ini pernah dimuat pada jurnal Inspirasi edisi September 2012
Indonesia sebagai negara kecil dan terbuka tidak
dapat melepaskan diri dari pengaruh
satuasi ekonomi global yang terjadi. Krisis ekonomi global yang terjadi belakangan ini tidak bisa
dipandang sebelah mata. Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat telah
memberikan pengalaman bagi Indonesia dan sekarang yang terjadi di
Eropa semenjak November 2009. Banyak kalangan menilai kalau krisis itu terjadi
karena tingkat bunga dari beberapa surat hutang pemerintah menanjak drastis di beberapa negara di Eropa yang kemudian melahirkan efek domino. Dalam
menghadapi krisis tersebuti,
pemerintah negara-negara
di Eropa kemudian
memberikan stimulus fiskal untuk merangsang ekonomi dan
mengatasi bank-bank yang
ambruk, namun sampai
sekarang masih belum
dapat diatasi.
Banyak kalangan menilai kalau krisis
ekonomi yang terjadi di Eropa sudah menjalar ke Indonesia, jadi bukan lagi
merupakan ancaman. Seperti yang
disinyalir oleh Kepala
Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeboerle. Indikasi ini terlihat pada kecendrungan melemahnya nilai tukar rupiah, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) dan menipisnya likuiditas valuta asing. Dan tentu saja ekspor
Indonesia.
Data yang dikeluarkan oleh BPS
menunjukkan kalau sejak bulan April ekspor Indonesia sudah mulai melemah
dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal itu
ditunjukkan oleh nilai ekspor bulan April yang hanya
mencapai US$ 16,173 miliar dibanding bulan Maret yang mencapai US$ 17,251 miliar. Walaupun pada bulan Mei
mengalami peningkatan lagi menjadi US$ 16,829 miliar. Akan tetapi pada
bulan Juni terjadi lagi penurunan. Penurunan tersebut karena terjadinya
penurunan volume ekspor dan harga-harga
komoditas ekspor utama Indonesia seperti batubara, karet, minyak sawit, dan
tembaga telah menurun.
Krisis ekonomi dunia yang
terjadi secara beruntun telah banyak memberikan pelajaran bagi pengelolaan
ekonomi nasional dan regional. Indonesia sejauh ini telah membuktikan sebagai salah satu negara yang
mempunyai daya tahan tinggi dalam menghadapi krisis ekonomi global. Saat negara
lain mengalami resesi pada 2009, Indonesia bersama dengan China dan India
justru masih mengalami pertumbuhan sebesar 4,6% dan bahkan terakselerasi pada
2010 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 6,1% per tahun. Bahkan Lukita
Dinasryah Tuwo, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, meyakini
perekonomian Indonesia masih akan tumbuh sesuai dengan prognosis APBNP 2012,
kira-kira mencapai 6,5 persen hingga 6,7 persen, jika berjalan sesuai skenario, atau 6 persen berdasarkan proyeksi Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) sebesar 6,8 persen. Keyakinan pencapaian pertumbuhan ekonomi
tersebut disinyalir karena pemerintah Indonesia telah memiliki pengalaman dalam mengelola dan
mengantisipasi krisis. Memang selama krisis terjadi, seolah-olah terdapat dua
kelompok pemikiran, yaitu yang merasa optimis dan pesimis terhadap kemungkinan
Indonesia bisa terhindari dan keluar dari krisis.
Jika menengok kebelakang
penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia yang terjadi pada tahun 1997
terdapat lima penyebab utama yaitu akumulasi dari kurang
tepatnya kebijakan ekonomi, kelembagaan perbankan yang kurang kuat, krisis
kepercayaan, diagnosis dan resep penanggulangan
krisis yang kurang tepat, dan internasionalisasi pasar modal yang spekulatif dan tidak stabil. Faktor-faktor inilah
yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengantisipasi pengaruh krisis
terhadap perekonomian Indonesia.
Dampak
Krisis Ekonomi pada Indonesia
Seperti yang pernah
dikemukakan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang P. S.
Brodjonegoro bahwa setidaknya
ada dua jalur transmisi yang dapat dilewati pengaruh krisis ekonomi global
terhadap perekonomian Indonesia yaitu jalur perdagangan dan jalur pasar modal.
Pertama Perdagangan, dampak yang dapat dirasakan oleh Indonesia adalah terjadinya penurunan ekspor. Karena adanya
penurunan permintaan barang dari negara-negara yang mengalami krisis seperti yang terjadi di Amerika
dan Eropa saat ini. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS, memang
kontribusi kedua kawasan tersebut khususnya Yunani,
Italia, Spanyol, dan Irlandia relatif kecil terhadap nilai
ekspor Indonesia hanya berkisar 19% lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara di Asia yang berkisar 73%. Namun demikian,
tetap perlu diwaspadai potensi dampak lanjutan bila gejolak tersebut meluas ke
negara-negara Eropa lain yang merupakan mitra dagang penting Indonesia. Sementara gejolak ekonomi AS perlu mendapat perhatian mengingat
AS merupakan salah satu mitra dagang penting Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS
di tahun 2010 cukup besar, yaitu kurang lebih sebesar 10,5 persen dari total
ekspor Indonesia. Di samping itu, peran perekonomian AS
terhadap perekonomian global yang cukup besar (sekitar 20 persen) akan memiliki
pengaruh yang cukup berarti pada negara lain, termasuk mitra dagang Indonesia
lainnya. Yang perlu mendapat perhatian sekarang adalah adanya
indikasi menurunannya nilai ekspor Indonesia.
Pada Juni 2012 terjadi penurunan nilai ekspor bila dibandingkan Mei 2012 sebesar 8,70 persen. Penurunan nilai ekspor tersebut terjadi karena menurunnya nilai ekspor
nonmigas sebesar 4,04 persen demikian juga nilai ekspor migas turun sebesar
25,12 persen. Nilai ekspor secara
total untuk periode Januari hingga Juni 2012 sebesar US$ 96.884,7 juta
yang terdiri dari ekspor migas US$ 20.059,0
juta dan ekspor nonmigas US$ 76.825,7 juta. Jika dibandingkan dengan
periode Januari–Juni tahun 2011
maka terjadi penurunan sebesar 1,76 persen untuk ekspor total. Ekspor migas secara kumulatif (Januari–Juni
2012) naik 2,44 persen, sementara
ekspor nonmigas turun 2,79 persen. Khusus
untuk ekspor non migas negara-negara uni Eropa memiliki kontribusi sebesar
11,73 persen, Amerika Serikat sebesar 9,71 persen. China merupakan negara yang
memiliki kontribusi tersebur yaitu 13,60 persen, kemudian Jepang sebesar 11,35
persen dan India sebesar 7,86 persen. Gambaran data ini dapat memberikan rasa
optimisme kalau krisis ekonomi yang terjadi di Eropa tidak terlalu berpengaruh
signfikan terhadap perekonmian Indonesia, mengingat negara-negara utama tujuan
ekspor Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Namun harus
mendapat catatan karena nilai ekspor non migas untuk negara-negara tersebut juga
mengalami penurunan.
Pasar Modal dan Uang
Salah satu
dampak gejolak yang mungkin lebih cepat terasa adalah gejolak di pasar modal
dan uang. Adanya kebutuhan dana untuk restrukturisasi sektor keuangan dan
pemulihan ekonomi di AS dan Eropa dapat mendorong investor dari kawasan Eropa
dan AS menarik investasinya dari Indonesia dan mengalihkan
investasinya pada instrumen lain, misalnya komoditas emas. Apabila terjadi capital
outflow yang disebabkan oleh investor dari negara Eropa yang menarik
dananya, maka akan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar
rupiah akan menyebabkan meningkatnya jumlah utang dan beban utang pemerintah
terutama yang berdenominasi asing. Selain itu, semakin ketatnya likuiditas
global dan meningkatnya suku bunga akan membuat biaya penerbitan global bond
pemerintah menjadi semakin mahal. Walaupun memang
Indonesia sedikit beruntung menurut pengamatan Firmanzah Dekan Fekon UI, karena Indonesia dinilai peran capital
market dalam struktur ekonomi secara
keseluruhan tidak sebesar di Eropa dan AS. Dengan demikian, transmisi krisis
melalui pasar uang atau pasar modal sebenarnya tidak sampai mengganggu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terhambat jika terjadi penurunan
aliran modal masuk. Kawasan Eropa dan Amerika Serikat dalam portofolio
investasi dan Foreign
Direct Investment (FDI) di Indonesia menyumbang 60 persen. Terjadinya krisis dapat menurunkan FDI yang
berasal dari kedua wilayah tersebut.
Prospek Pertumbuhan Ekonomi.
Dengan berbagai tantangan, ancaman dan peluang dan
potensi yang dimiliki pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat dicapai sesuai
dengan target yang ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga internasional
lainnya. Atau paling tidak mendekati. Kinerja perekonomian
Indonesia yang digambarkan oleh perkembangan PDB atas dasar harga konstan 2000, pada triwulan II-2012
meningkat sebesar 2,8 persen bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (q-to-q). Peningkatan ini
terjadi pada semua sektor ekonomi, kecuali Sektor Pertambangan dan Penggalian yang mengalami penurunan sebesar 0,6
persen.
Penulis merasa optimis jika ekonomi Indonesia bisa
terhindar dari gejolak krisis ekonomi global. Optimisme ini dilandasi pada beberapa
hal pokok, yaitu: pendapatan per kapita Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Pada tahun 2000 pendapatan per kapita hanya sebesar Rp. 6 751
601,46, jumlah ini meningkat pada tahun 2011 menjadi Rp. 30 812 926,10. Peningkatan ini akan meningkatkan daya beli dan
tingkat konsumsi masyarakat. Memang pertumbuhan ekonomi selama ini masih
didorong oleh konsumsi masyarakat. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga secara riil (atas dasar
harga konstan 2000) meningkat sebesar 1,4 persen pada triwulan II-2012 (Rp355,9 triliun) dibandingkan
dengan triwulan I-2012 (Rp351,1 triliun). Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB
sebesar 53,5 persen. Jadi ekonomi Indonesia tetap mengandalkan pada pasar
domestik.
Yang kedua adalah
besarnya investasi yang terealisasi baik PMA ataupun PMDN. Menurut data Badan Penanaman Modal, realisasi
investasi pada triwulan 1 periode Januari hingga Maret 2012 tercatat sebesar Rp
71,2 triliun. Ini terdiri dari realisasi investasi penanaman modal dalam negeri
sebesar Rp 19,7 triliun dan realisasi investasi penanaman modal asing sebesar
Rp 51,5 triliun. Jumlah ini meningkat 32,8 persen dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh kembalinya Indonesia ke dalam kelompok negara-negara
yang mendapatkan rating investment grade
pada 2012 yang terakhir sekali status tersebut dicapai pada tahun 1998. Penilaian tersebut diberikan oleh Rating Agency Internasional, Fitch Rating dan Moody’s Investor
Service. Fitch yang menaikkan “sovereign
credit rating” dari BB+ menjadi BBB- menekankan bahwa rating ini
mencerminkan disiplin fiskal yang berkesinambungan, pertumbuhan ekonomi yang
kuat dan berkualitas serta rasio utang publik yang rendah dan cenderung
menurun.
Peringkat layak investasi
tersebut memperlihatkan Indonesia memiliki likuiditas eksternal kuat serta
kerangka kebijakan makro yang berhati-hati. Investment grade ini juga
memberikan persepsi bahwa Indonesia dalam melakukan reformasi menunjukkan karya
dan keyakinan Indonesia menjadi negara maju
semakin tinggi. Moody’s Investors Service
mempertahankan peringkat (rating) Indonesia di level Baa3 dengan outlook
stabil. Pada Januari lalu, Moody’s juga memberikan peringkat dengan level sama.
Adapun pertimbangan Moody’s di antaranya, pertama, pertumbuhan ekonomi yang
masih cukup tinggi dan kuat. Kedua, kebijakan fiskal yang cukup moderat dengan
tingkat utang dan defisit yang masih terkendali, Ketiga, sektor keuangan yang
masih cukup kuat. Keempat, kerentanan dalam menghadapi krisis masih cukup
moderat.
Yang ketiga, kemampuan pemerintah menstabilkan tingkat
harga. Sampai dengan bulan Juli inflasi secara nasional sebesar 2,5 persen.
Diandingkan dengan tahun 2010 dan 2011, tingkat inflasi yang terjadi sekarang
masih lebih rendah. Faktor ini kemudian mempengaruhi stabilitas tingkat suku
bunga. BI rate pada akhir 2011 adalah 6,75 persen dan nilai tukar rupiah
terhadap US$ berkisar pada Rp. 9.578,-. Yang perlu diwaspadai adalah
kecendrungan nilai tukar rupiah yang cendrung melemah. Kalau ini terus
berlanjut akan diikuti dengan kenaikan tingkat suku dan hal ini akan berdampak
pada pertumbuhan sektor riil.
Selain faktor internal tersebut, maka faktor eksternal
seperti kinerja perekonomian beberapa negara mitra dagang Indonesia cukup baik
seperti China, India, Jepang juga memberikan pengaruh terhadap kemungkinan
Indonesia bisa terhindar dari dampak krisis ekonomi global. Dengan
demikian, ekonomi Indonesia
masih akan tumbuh meski laju pertumbuhannya akan sedikit menurun. Penulis
percaya, jika diambil
kebijakan yang tepat,
maka dampak krisis ekonomi global terhadap ekonomi Indonesia akan minimal. Apalagi Indonesia sudah
memiliki segudang pengalaman dalam menghadapi krisis ekonomi global.
Semoga*****